Prof. Dr. Tono Saksono Banyak ulama Timur Tengah yang berkunjung ke Indonesia memberi komentar bahwa waktu panggilan sholat subuh di Indones...
Prof. Dr. Tono Saksono |
Banyak ulama Timur Tengah yang berkunjung ke Indonesia memberi komentar bahwa waktu panggilan sholat subuh di Indonesia dianggap terlalu awal. Empat negara bertetangga Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam memang menetapkan masuk waktu subuh saat Matahari berada pada Matahari di bawah ufuk timur (dinamakan dip) sebesar 20 derajat atau sekitar 80 menit sebelum Matahari terbit. Sedangkan masuk waktu isya adalah saat Matahari telah berada 18 derajat di bawah ufuk barat atau sekitar 72 menit setelah maghrib.
Atas masukkan para ulama di atas, dan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh ulama dan saintis Indonesia, sejak Maret 2017, ISRN-UHAMKA melakukan riset yang komprehensif tentang awal waktu subuh dan isya ini. Mungkin inilah riset tentang awal waktu subuh dan isya yang pertama dilakukan di dunia karena melibatkan 9-10 jenis sensor pendeteksi kehadiran fajar. Alat utama yang digunakan adalah Sky Quality Meter (SQM) untuk mengukur tingkat kecerlangan langit (sky brightness). Alat ini dioperasikan dengan interval perekaman data (temporal resolution) setiap 3 detik secara otomatis. Sedangkan sensor-sensor lain barupa berbagai jenis kamera digital sejak kamera dengan lensa mata ikan (All Sky Camera), tiga jenis kamera DSLR (digital single lens reflex), dan 4-5 jenis kamera gadget. Kamera-kamera digital ini sebetulnya lebih berfungsi untuk memverifikasi kehadiran fajar yang terdeteksi oleh sensor utama SQM di atas.
Cakupan Data
Pada tahun pertama, alat-alat tersebut dioperasikan stasioner di Depok untuk melihat adanya pengaruh musim terhadap waktu kemunculan fajar. Hasil analisis selama setahun atas data tersebut ternyata tidak menemukan korelasi yang kuat antara saat kemunculan fajar dan musim. Pada tahun kedua, ISRN mulai melakukan perekaman data yang mencakup seluruh wilayah geografis Indonesia. Sampai saat ini ada sekitar 220 data (baca: 220 hari) untuk subuh dan sekitar 160 data (baca: 160 hari) untuk isya yang tersebar di 14 lokasi pengamatan di seluruh wilayah Indonesia, yaitu Medan (2), Jabodetabek (5), Cirebon (1), Yogya (2), Labuanbajo (1), Bitung (1), Manokwari (1), Balikpapan (1). Cakupan wilayah ini telah kami anggap cukup representatif sebagai lokasi sampling untuk menarik kesimpulan hasil penelitian secara nasional.
Hasil dan Reliabilitasnya
Dari ratusan data yang kami koleksi dan proses, saat terdeteksinya sinar fajar (tanda masuk waktu subuh) dan menghilangnya sinar syafaq (tanda akhir sholat maghrib) ternyata berfluktuasi setiap hari sepanjang tahun, bahkan jika pengamatan data dilakukan di tempat yang sama. Dengan demikian, sesuai dengan kaidah statistik, ISRN mengusulkan penggunaan harga rerata dip secara nasional. Kehadiran fajar ternyata baru terdeteksi saat Matahari berada pada posisi rerata 13,3 derajat di bawah ufuk timur, dengan deviasi baku 1,84 derajat. Sedangkan sinar syafaq yang menandai berakhirnya waktu maghrib telah terdeteksi saat Matahari berada pada posisi rerata dip 13,2 derajat di bawah ufuk barat, dengan devisi baku 1,69 derjat. Dengan demikian, secara statistik, rentang waktu subuh sejak terdeteksinya fajar sampai dengan Matahari terbit ternyata hanya sekitar 53 menit saja, bukan 80 menit seperti praktek umat Islam Indonesia selama ini. Selain itu, selang waktu maghrib sejak Matahari terbenam sampai hilangnya sinar syafaq juga ternyata hanya sekitar 53 menit saja, bukan 72 menit seperti praktek umat Islam selama ini. Dengan kata lain, hasil riset ISRN-UHAMKA menyimpulkan bahwa subuh di Indonesia ternyata rata-rata 26-27 menit terlalu awal, sedangkan waktu isya rata-rata 19 menit terlalu lambat.
Temuan ini terbukti memiliki reliabilitas tinggi. Dalam statistik dikenal wilayah yang dinamakan just non-detectable blunder yang terdiri dari batas atas dan batas bawah untuk mengukur reliabilitas hasil estimasi. Batas tersebut merupakan nilai dip rerata ditambah dan dikurangi tiga kali nilai deviasi bakunya. Berarti untuk subuh, nilai atasnya adalah 18.8 derajat, sedangkan batas bawah subuh adalah 7,9 derajat. Seluruh 220 hasil estimasi dip subuh ternyata berada dalam batas atas dan bawah ini. Begitu juga untuk isya. Seluruh 160 hasil estimasi dip untuk isya ternyata berada di antara batas atas 18,3 derajat dan batas bawah 8,1 derajat. Dengan demikian, hasil riset kami memiliki reliabilitas tinggi.
Prof. Dr. Tono Saksono (tonosaksono@uhamka.ac.id)
Ketua, The Islamic Science Research Network (ISRN) UHAMKA, Jakarta